Bebani Masyarakat, Wacana PPN Pendidikan dan Sembako Ditolak Ketua Komisi II DPRD Sultra  

Farhana Mallawangan

BeritaRakyat.id, Kendari – Pemerintah bakal mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah barang atau jasa tertentu. Berdasarkan Rancanangan Undang-Undang (RUU) tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, selain sembako yang dikenakan PPN, jasa pendidikan juga demikian.

Namun, wacana tersebut mendapat penolakan dari Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra), Farhana Mallawangan. Menurutnya, pemerintah mesti memikirkan ulang untuk menerapkan wacana yang

terlihat dalam draf RUU perubahan kelima atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu.

“Kami meminta pemerintah berpikir ulang mengenai rencana tersebut. Saya sangat menyayangkan rencana kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait rencana kebijakan tersebut,” jelas Farhana, Senin (14/062021).

Politikus Golkar ini mengaku mengerti situasi keuangan negara yang sedang berat. Apalagi dalam situasi pandemi yang menyebabkan target pajak tidak tercapai, sehingga penerimaan negara defisit. Namun, menarik pajak dari kebutuhan pokok masyarakat bukanlah sebuah solusi karena hanya akan menambah beban masyarakat.

“Tarik pajak dari barang-barang kebutuhan pokok rakyat dan kegiatan-kegiatan riil masyarakat, seperti beras, gula, garam, ikan, daging, sayur mayur dan juga pelayanan kesehatan dan pendidikan itu justru semakin membebani rakyat,” bebernya.

Untuk itu, Farhana menyarankan kepada pemerintah sebaiknya menerapkan objek pajak baru terhadap barang-barang yang bukan menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

“Seharusnya pemerintah menarik pajak terhadap aktivitas pertambangan, perkebunan hingga korporasi. Ini yang tepat,” urainya.

Kebijakan mengenakan PPN terhadap pendidikan dan sembako, katanya lagi, bisa merusak citra pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya berpihak ke rakyat kecil.

“Sri Mulyani sebagai menteri keuangan harus menarik dan merevisi draf RUU KUP yang isinya tak populer itu. Apalagi sektor pendidikan dan sembako ini merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia,” tegasnya.

Entah mahal atau murah, lanjutnya, pendidikan tetaplah pendidikan yang sangat diperlukan dalam pembangunan kualitas manusia. Demikian halnya dengan penambahan beras yang akan dijadikan sebagai objek PPN dan dikenakan PPN, harus dilihat korelasi ke depannya.

“Bahwa kualitas pangan akan mempengaruhi kualitas kesehatan dan akhirnya berpengaruh pada kualitas kehidupan masyarakat,” ungkapnya.

Alasan yang tidak rasional, ungkapnya lagi, bahwa kebijakan ini akan diterapkan setelah pandemi covid-19 selesai. Namun, sampai saat ini tidak ada ahli yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.

Ia pun menyarankan, energi bangsa sebaiknya berkonsentrasi digunakan untuk menangani dan mengatasi pandemi covid-19 bukan justru membuat polemik membahas objek PPN baru dan kenaikan tarif PPN.

“Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbaik di dunia harus bisa menunjukkan kreativitas dalam membuat ide dan gagasan sesuai dengan kelasnya. Saya meminta menteri keuangan menggunakan ruang kreativitas lainnya dalam mengambil kebijakan menaikkan penerimaan pajak,” paparnya.

Ditambahkan, dalam menghadapi pandemi covid-19 saat ini semua negara menghadapi permasalahan yang hampir sama di bidang fiskal, tapi kenapa hanya Indonesia yang mengambil langkah kebijakan menaikkan tarif pajak dan menambah objek pajak baru.

“Kebijakan ini kontradiktif dan justru merusak proses dan upaya pemulihan ekonomi yang sedang diupayakan,” tutup Farhana.

ODEK/NURSADAH

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *